"Apakah kamu serius?"
Danang menatapku dari balik kacamatanya. Aku ingin menundukkan wajahku agar tidak menatapnya. Namun kukuatkan hati membalas pandangannya.
"Ya," sahutku. Suaraku terdengar lemah di telingaku sendiri. Hampir tak kudengar. Untuk sesaat kami terdiam. Kugunakan kesempatan untuk memandangi ubin yang putih. Lantas kudengar Danang menghela nafas panjang.
"Kuharap kamu tidak bercanda," katanya. Suaranya terdengar lembut.
"Aku serius."
"Ini adalah suatu hal yang sangat penting dalam hidup aku."
"Ya, begitu juga aku."
"Benarkah demikian?"
"Ya."
"Nanti aku akan tanya mama kapan waktu yang tepat untuk meminangmu."
Danang tersenyum manis. Memandang Danang yang begitu bahagia, hatiku terasa ngilu.Laki -laki di depanku ini begitu tulus menyayangiku.Pantaskah aku menjadikannya sebagai pelarian?
Andai saja aku bisa mencintai Danang. Laki - laki ini tidak pernah menuntut apapun dariku. Ia selalu sabar dan tak pernah memaksakan kehendak. Ia selalu penuh pengertian dalam menghadapi aku. Dari keluarga yang harmonis. Ia berpendidikan, punya karier yang bagus, mapan, masa depan yang cerah. Mengapa aku tidak bisa mencintainya? mengapa justru aku menyayangi BJ?
Ah. BJ, sudah beberapa minggu aku tak mendengar khabar darinya. Ia tak pernah mengirim pesan apalagi menelpon. Hatiku merasa tidak enak. Apalagi subuh itu BJ meninggalkan apartemenku dengan berlinang air mata.
"Beib......." bisiknya ditelingaku. Ia masih memelukku kuat - kuat.
".............maafkan aku........"
Ia membenamkan wajahnya di leherku. Samar - samar kudengar isakannya. Lirih mengiris hatiku.
Amarah yang tadi bergolak - golak di dadaku, perlahan surut mendengar sedu sedannya. Ah bagaimana bisa aku mencintai seorang laki - laki seperti ini? Tak pernah terbayangkan sebelumnya bahwa pada suatu saat dalam hidupku aku akan jatuh cinta dan mencintai seseorang separah ini. Bahkan setelah ia memaksakan kehendaknya padakupun, cintaku padanya tak luntur setitik pun.
"Apakah kamu akan meninggalkan aku?" suaranya nyaris tak terdengar.
Hatiku nyeri.
"Aku tak ingin kamu menikahi laki - laki lain. Siapapun namanya." Ia melepaskan pelukannya. "Aku tak ingin membagimu dengan siapa pun. Bisakah kau mengerti?"
Kupejamkan mata. Seandainya saja dunia berhenti berputar,biarlah BJ dan aku tetap disini, dalam waktu yang menjadi abadi.
Ia mentapku dengan matanya yang hitam seperti malam. Mata lelaki yang sangat kucintai melebihi hidupku sendiri.
"Mungkin aku bukan lelaki yang baik, kata BJ lagi, perlahan - lahan, "tetapi sungguh aku mencintaimu."
Dikenakannya sepatunya. Tanpa meandangku dia membuka pintu. Seketika tangisku pecah saat pintu tertutup.
***
Beberapa lama setelah BJ meninggalkanku subuh itu, kunci apartemen aku ganti. Sebenarnya tak perlu kugantipun Bj tak kan datang lagi.
Aku tak tahu kapan akan melihatnya lagi. Sekali dua kali aku tergoda untuk menanyakanya pada Laras. Tetapi Laras tak pernah menyinggung perihal BJ. Akupun tak menyinggung perihal BJ. Hari - hari lewat begitu saja. Sampai suatu saat Laras menelpon aku.
"Sebenarnya aku tak ingin mengabarkan hal ini kepadamu," katanya, tetapi kalau tak kuberitahu dan terjadi sesuatu, aku akan menyesal seumur hidup."
Jantungku berdegub kencang. "Ini soal BJ, bukan?"
"Iya. Sudah satu minggu BJ di Rumah Sakit."
Tanganku bergetar. "Kenapa?"
"Sepertinya dia minum obat penghilang rasa nyeri terlalu banyak."
Waktu remaja BJ pernah mengalami kecelakaan hebat, tulang belakangnya cedera dan sering menyebabkan ia kesakitan hingga harus minum obat penghilang rasa nyeri.
Laras mengantarkanku ke rumah sakit. Di rumah sakit itu untuk pertama kalinya aku bertemu dengan Kinan. "Hai," sapanya seraya menjabat tangan yang kuulurkan. Sekilas kulirik anak kecil yang berdiri di belakangnya bergelayut manja dan malu - malu.AnakBJ. Hatiku perih. Untung wanita paruh baya (adik ibu BJ) menyilahkan kami masuk ke ruang ICU untuk menengok BJ.
"Ia tidak sepenuhnya sadar karena pengaruh obat," katanya dengan suara sedih , membuatku gelisah.
Hanya dua orang yang boleh masuk dan aku tau peraturan itu. Setelah kukenakan baju khusus aku masuk dan berdiri di samping tempat tidur BJ.
Rasanya nafasku terhenti ketika melihat sosok BJ yang terbaring lemah di tempat tidur. Begitu kurus, pucat, dan begitu banyak peralatan medis yang menempel di tubuhnya. Tuhanku......apakah yang telah terjadi?
Rasanya aku ingin menangis, tetapi mataku kering. Barangkali aku akan jatuh ambruk jika Laras tak menopangku.
"Rafa, bisiknya di telingaku. "Kuatkan dirimu."
Kugenggam erat jemari BJ yang kurus. Beginikah rasanya melihat orang yang kucintai dan kusayangi bertarung dengan maut, sedangkan kita tak mampu berbuat apa - apa.
"Saatnya kita pergi," bisik Laras beberapa saat kemudian.
Setelah kunjungan itu, tiap hari aku menjenguknya sepulang dari rumah sakit aku bekerja. Dan aku berharap Kinan tak mencurigaiku dan berfikir akulah dokter yang menanganinya.
Aku tak bisa untuk tidak menemuinya, setelah tau ia bertarung dengan maut.
Dan aku beruntung tiap aku menjenguknya aku tak pernah bertemu dengan Kinan. Lebih sering aku menjumpai adik ibu BJ. Ia tidak banyak bertanya dan selalu tersenyum saat aku datang. Apakah ia tahu ada sesuatu antara BJ dan aku, aku tak peduli.
***
..........to be continue............
Ayura, 2010
No comments:
Post a Comment